Akhir-akhir ini, dunia perbankan global digemparkan dengan isu tentang Silicon Valley Bank (SVB) yang bangkrut dalam rentang waktu 48 jam dan secara resmi ditutup oleh otoritas berwenang Amerika Serikat pada Jumat, 10 Maret 2023.
Kebangkrutan Silicon Valley Bank tersebut dinilai tidak hanya berdampak secara regional, tapi juga global lantaran bank tersebut menjadi bank yang diandalkan perusahan-perusahaan rintisan (startup) teknologi global. Sebenarnya apa itu Silicon Valley Bank? Simak penjelasan berikut.
Apa Itu Silicon Valley Bank?
Bagi para pelaku ekonomi, Silicon Valley Bank bukan lembaga asing. Ia adalah lembaga keuangan perbankan yang bermarkas di Santa Clara, California, Amerika Serikat. Bank yang didirikan oleh Bill Biggerstaff dan Robert Medearis tersebut sudah beroperasi selama 40 tahun.
Perjalanan banyak startups dunia untuk dapat berkembang salah satunya didukung oleh layanan deposito dan pembiayaan SVB yang memiliki spesialisasi layanan keuangan tersendiri sehingga disebut sebagai “The financial partner of the innovation economy”.
Bank tersebut diklaim telah menyediakan pembiayaan untuk hampir setengah dari perusahaan teknologi dan perawatan kesehatan berbasis modal ventura di Amerika Serikat dan menyediakan layanan keuangan untuk investor dan perusahaan sektor privat atau publik secara global.
SVB berhasil masuk dalam daftar 20 bank komersial terbesar di AS sebelum akhirnya resmi ditutup. Menurut data Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), total aset yang dimiliki Silicon Valley Bank per Desember 2022 adalah sekitar 209 miliar dollar AS (sekitar Rp3.210,4 triliun) dengan total simpanan 175 miliar dollar AS (setara dengan Rp2.688,1 triliun).
Dengan aset yang besar tersebut, bagaimana SVB bisa dinyatakan bangkrut? Berikut ulasannya.
Baca juga: Resesi Ekonomi: Pengertian, Efek, Penyebab, dan Kebijakan Mengatasinya
Penyebab Silicon Valley Bank Bangkrut
Peristiwa kebangkrutan Silicon Valley Bank menjadi peristiwa besar kebangkrutan bank kedua yang terjadi di Amerika Serikat setelah bank Washington Mutual mengalami hal serupa pada 2008 lalu.
Para pengamat ekonomi dunia mengaitkan penyebab kebangkrutan Silicon Valley Bank bankrut dengan tiga peristiwa berikut ini.
1. Kebijakan The Fed
The Fed merupakan bank sentral Amerika Serikat yang setiap kebijakannya dapat berpengaruh terhadap sistem perbankan di negara tersebut, termasuk ketika The Fed menaikkan suku bunga secara agresif sehingga SVB harus mengalami krisis modal dan menimbulkan aksi bank run dari para nasabah.
Kebijakan tersebut dianggap sebagai salah satu solusi yang harus dilakukan The Fed untuk dapat menanggulangi laju inflasi. Hal tersebut juga dikaitkan dengan kebijakan suku bunga nol persen yang sempat diimplementasikan The Fed selama pandemi COVID-19 berlangsung tiga tahun lalu.
Dengan adanya kebijakan suku bunga nol persen, maka aktivitas belanja masyarakat pun meningkat sehingga banyak perusahaan yang diuntungkan, termasuk perusahaan teknologi yang pada akhirnya menyimpan aset mereka di Silicon Valley Bank.
2. Investasi obligasi jangka panjang
Tingginya nilai aset yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan tersebut membuat nilai deposito dan simpanan di SVB ikut meningkat. Inilah yang kemudian menyebabkan SVB memutuskan untuk melakukan investasi besar-besaran, khususnya dalam instrumen obligasi jangka panjang.
Pada gilirannya, investasi dalam instrumen obligasi jangka panjang ini turut menjadi pemicu terjadinya kebankrutan pada Silicon Valley Bank. Inflasi yang terus meningkat dalam waktu setahun ke belakang membuat The Fed akhirnya menaikkan suku bunga secara bertahap untuk menanggulangi laju inflasi.
Kebijakan tersebut kemudian membuat harga atau nilai obligasi SVB dan bank-bank lain mengalami penyusutan. Pada waktu yang bersamaan, aktivitas belanja masyarakat juga menurun sehingga banyak pemodal ventura yang berhenti melakukan pembiayaan terhadap perusahaan teknologi.
Baca juga: Ekonomi Makro: Pengertian dan Pengaruhnya Terhadap Investasi
Akibatnya, banyak perusahaan teknologi yang kemudian menarik deposito mereka di SVB agar dapat membayar biaya operasional yang sudah tidak lagi didukung oleh perusahaan modal ventura. Supaya bisa memberikan layanan penarikan deposito tersebut, SVB tentu harus punya uang tunai.
Namun, tentu saja uang tunai tersebut tidak bisa disediakan karena aset yang tersimpan sebelumnya telah digunakan oleh SVB untuk berinvestasi dalam obligasi jangka panjang.
3. Penjualan obligasi jangka panjang
Ketidakmampuan Silicon Valley Bank untuk menyediakan uang tunai bagi perusahaan yang ingin menarik deposito mereka membuat SVB mau tidak mau harus menjual obligasi mereka agar dapat mengatasi krisis modal yang terjadi.
Dengan demikian, SVB harus menjual aset obligasi mereka yang berjumlah kurang lebih Rp323,9 triliun. Penjualan obligasi tersebut tentu saja mengakibatkan kerugian besar bagi SVB karena harus mengeluarkan biaya pajak sebesar Rp27,7 triliun. Untuk mengatasinya, SVB juga kemudian menjual saham baru senilai Rp34,7 triliun.
Pada 8 Maret 2023, SVB mengumumkan penjualan sahamnya dengan nilai Rp27 triliun dan meyakinkan nasabah agar tetap merasa aman. Sayangnya, penjualan obligasi dan saham SVB memicu kepanikan nasabah sehingga mengakibatkan fenomena bank run dalam jumlah besar dan cepat.
Baca juga: Mengenal Obligasi dan Saham sebagai Instrumen Investasi
Sektor Perbankan Tertekan, Emas Jadi Alternatif Investasi?
Krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat tentu tidak hanya berdampak secara regional. Ia juga menyebabkan krisis di dunia perbankan Eropa, bahkan sampai ke Indonesia.
Dalam kondisi tersebut, para investor tentu akan kebingungan menyimpan aset mereka di mana ketika sektor perbankan yang seharusnya bisa diandalkan justru malah mengalami kebangkrutan. Pada momen ini, banyak investor dunia yang akhirnya menjatuhkan pilihan instrumen investasi mereka pada emas. Itulah sebabnya harga emas terus mengalami penguatan dalam beberapa waktu terakhir hingga menyentuh lebih dari Rp1 juta per gram.
Selain untuk mengantisipasi krisis, kenaikan emas juga dipengaruhi oleh berbagai kekuatan fundamental, seperti halnya ekspektasi kenaikan suku bunga, kekhawatiran perbankan yang berkepanjangan, melemahnya dollar AS, dan penurunan imbal hasil U.S Treasury.
Kekhawatiran pasar tentang krisis perbankan bisa menyebabkan munculnya resesi sehingga emas menjadi instrumen yang dianggap aman bagi para investor. Jika The Fed tidak mampu menaikkan suku bunga, namun inflasi tetap tinggi, maka hal ini akan membuat pergerakan pasar emas mengalami peningkatan.
Baca juga: Pengertian Investasi Emas, Keuntungan, serta Jenisnya
Demikianlah penjelasan tentang apa itu Silicon Valley Bank dan bagaimana peristiwa kebangkrutan bank besar tersebut berdampak terhadap sektor perbankan global, termasuk Indonesia.
Kamu yang ingin mengantisipasi kerugian investasi akibat peristiwa ekonomi yang terjadi tentu tidak bisa serta-merta melakukan suatu aksi hanya berdasarkan kekhawatiran. Kamu harus terlebih dulu mengevaluasi berbagai hal supaya bisa mengambil keputusan yang tepat.
Simak berbagai informasi terkait bisnis, investasi, dan dunia perbankan lainnya di BMoney, yaitu aplikasi investasi yang dapat membantu kamu menentukan profil risiko investasi dan menentukan jenis instrumen investasi yang sesuai dengan kebutuhan. Tertarik untuk menggunakan aplikasi investasi yang satu ini? Download aplikasinya sekarang di Play Store atau App Store.